Yesus dalam Sufisme

Pendahuluan

Sufisme (Tasawwuf) adalah cabang mistisme Islam. Gerakan mistis ini dimulai ketika Islam melakukan kontak langsung dengan Kekristenan Timur di abad ke-8, dan darinya gerakan ini mewarisi beragam prinsip dan motivasi. Di abad-abad selanjutnya, unsur-unsur agama Hindu dan Buddha terintegrasi di dalamnya, namun tetap di dalam lingkup masyarakat Muslim. [18] Sufisme memiliki panduan untuk mencapai pengalaman spiritual.

Pelaku Sufisme disebut Sufi.

Ia berada di bawah pengawasan seorang pemimpin spiritual yang membimbingnya untuk melawan ego pribadinya sehingga dapat membuka dirinya untuk mengalami pengalaman ilahi. Pengalaman religius sangatlah penting, dan hal ini yang membedakan Sufi dengan orang-orang Muslim lainnya. Sufi percaya bahwa pengalaman dengan Allah dapat dialami dalam kehidupan ini.

Praktik-Praktik dalam Sufisme

Sufisme adalah pencarian pengetahuan tentang Allah yang hidup. Bagi seorang Sufi, Allah adalah Wujud Hakiki Satu-Satunya yang mendasari seluruh fenomena. Visi dunia seorang Sufi, Allah adalah segalanya dan tidak ada yang lain selain Dia. Tujuan manusia adalah berkonsentrasi pada identitas Allah dengan menjalani kehidupan bertapa. Dengan metode ini, Sufi ingin dibebaskan dari keinginan daging dan menjalani kehidupan spiritual. Ini dapat terwujud dengan menyelesaikan sejumlah tahapan (maqamat) dan pengalaman pribadi (ahwal). Ini juga merupakan jalan untuk bertumbuh dalam kekuatan spiritual. Jalan ini tercapai ketika batiniah orang tersebut bersentuhan dengan esensi Allah (fana). Setelah ini terjadi, Sufi pun menjadi ‘Manusia Sempurna’ (al-insanul-kamil). Karena kepercayaan Sufi bahwa hal-hal materi adalah penghalang dalam pengabdian mereka, mereka pun disebut para pertapa. Meskipun Sufisme didasarkan pada doktrin-doktrin Islam, ia memiliki spiritualitas yang berbeda. Dalam Sufisme, keselarasan dengan Allah dapat dicapai melalui kasih dan pengabdian dengan cara yang tanpa pamrih.

Ibnu Arabi

Ibnu Arabi (1165–1240 Sesudah Masehi) adalah tokoh Sufi terbesar. Dia disebut ‘Guru Terbesar’ (al-Shaykh al-Akbar). Jabatan ini berarti tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan praktik-praktik dalam tradisi Islam dengan kedalaman dan keterperincian seperti itu. [19] Ia berhubungan dengan banyak orang Yahudi dan orang Kristen selama perjalanannya yang kerap ia lakukan di Spanyol. Ibnu Arabi belajar dari filsafat Yunani dan sumber-sumber Kekristenan untuk menjelaskan tentang praktik-praktis mistisme. Ia mempelajari pemikiran Filo, seorang filsuf Yunani. Filo mengambarkan doktrin Logos, sebagai manusia semata atau jiwa yang universal. Bagi Ibnu Arabi, Logos memiliki banyak makna, seperti Firman, Hikmat Abadi, dan Realitas dari Realitas (Haqiqatu'l Haqa'iq). [20] Ia percaya setiap nabi punya hubungan dengan sebuah realitas yang ia sebut sebagai Logos (Kalimah). Menurutnya, Allah akan selamanya bersembunyi, jika tidak ada nabi. Untuk mengetahui apakah ‘Manusia Sempurna’ terhubung dengan Logos, dapat diketahui melalui pengalaman yang mistik. [21] Doktrin Logos adalah bagian dari Neoplantonisme. Oleh karena itu, Ibnu Arabi memasukkan konsep-konsep Neoplantonisme ke dalam Sufisme.

Agustinus

Seperti halnya Ibnu Arabi, Agustinus (354-430 Sesudah Masehi) juga tertarik pada Neoplantonisme dan pengajaran tentang Logos. Ia tahu bahwa keinginan daging adalah kekuatan paling kuat dan paling menantang untuk dilawan. Bagi Agustinus, kebenaran adalah hasil sampingan dari wahyu umum Allah bagi semua manusia. Ia membaca Alkitab, di mana Logos (diterjemahkan sebagai Firman) diidentifikasikan sebagai Yesus Kristus (Yohanes 1:1-17). Ia juga menemukan bahwa apa yang dicari oleh para filsuf Neoplantonisme adalah pribadi Yesus Kristus. [22] Sesudah Agustinus menemukan ini, ia tidak lagi tertarik pada filsafat Neoplantonisme. Mungkin mereka hanya mampu membicarakan kebenaran tentang kodrat Allah, tetapi tidak memiliki akses ke dalamnya. Neoplantonisme dan Sufisme tidak memiliki kekuatan untuk menginisialisasikan tindakan yang tepat, dan karena itu keduanya tidaklah lengkap. Pada akhirnya Agustinus memutuskan untuk meninggalkan Neoplantonisme dan mendukung Kekristenan berdasarkan pembelajaran Alkitab yang dilakukannya sendiri.

Ukuran Kesempurnaan

Agustinus menulis tentang ukuran kesempurnaan yang ditentukan oleh Yesus Kristus: Seperti yang kita temukan dalam kitab Injil Matius, saya berpendapat ia menemukan di sana apa yang dimaksud dengan moral tertinggi, suatu ukuran kesempurnaan. [23] Bagian esensial dari khotbah Yesus Kristus di bukit (Matius 5:3-12) adalah:

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.

Kesimpulan dari khotbah Yesus Kristus di bukit adalah:

Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna (Matius 5:48).

Sebuah nasihat untuk mencari jalan menuju kesempurnaan dan Kerajaan Allah.

Posisi Anda

Membaca karya-karya Neoplantonisme menjadi instrumen dalam perubahan intelektualitas Agustinus. Setelah itu, pergumulan moral pun dialaminya, sampai ia mendengar suara seorang anak dikebunnya yang berkata: ‘Ambil dan baca!’. Ia membuka Perjanjian Baru secara acak dan menemukan perkataan dalam (Roma 13:13-14) yang memateraikan perubahan moralnya. Setelah itu keinginannya pun berubah . Agustinus mencari kebenaran, karena ia merasakan kebutuhan akan kebenaran tersebut, dan ia mendefinisikan ini sebagai pencarian akan Kristus serta hikmat Kristiani, sebagai daya tarik keindahan ilahi. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan: dapatkah kita memperoleh kepastian? [24] Cara memperoleh kepastian, dapat ditemukan di halaman: Datanglah kepada Yesus.